Sebagai awalan, aku tahu, kreator meme ini bisa jadi hanya sekadar bikin aja, gak yang terus berintensi jahat atau gimana-gimana. Bukan masalah, ini hanya sudut pandangku setelah coba memikirkan makna kalimat ini lebih dalam.
Awal melihat meme ini berkeliaran di Twitter — X, kala itu aku langsung sepakat bahwa meme ini sangat menggambarkan apa yang aku rasakan pada suatu twit (yang sayangnya aku lupa itu konteks twitnya apa). Dan berhubung lucu, jadi aku simpan di galeri (haha). Namun, suatu hari, ketika aku melihat kembali gambar ini di galeri gawai, tiba-tiba jadi kepikiran, “kok rasanya kayak gak pas ya? Kalimat ini?”
Nyatanya, menerima cinta, rasa sayang, ataupun perhatian, bisa jadi tidak sesederhana itu.
Lewat artikel dalam Psychology Today (Februari, 2021), Marisa G. Franco Ph.D., salah satu mantan profesor di Georgia State University, membagikan ceritanya tentang hasil jajak pendapat iseng di akun Instagramnya. Hasil jakpat (tidak saintifik) menunjukkan bahwa kebanyakan menganggap menerima rasa cinta adalah hal yang lebih sulit.
Artikel lain dari REHABSPOT (Juli, 2019), juga menyatakan bahwa meski menerima kasih sayang bisa sesederhana menyampaikan apresiasi atas dukungan dan koneksi yang dibangun, tapi hal tersebut juga bisa jadi sulit. Sulit akibat kepercayaan diri yang terbatas maupun ketidakinginan akan hadirnya rasa sayang. Beberapa emosi seperti malu, rasa bersalah, atau rendah diri juga dapat membatasi orang dalam menerima cinta dari sekitarnya.
“Mencintai seseorang / sesuatu itu artinya kita harus siap mencintai dengan bahasa mereka, bukan seenaknya dengan bahasa kita,” katanya.
Ngomong-ngomong, ide tulisan dan pemikiran ini bisa datang karena “penolakan” ini juga sebelumnya terjadi padaku, HAHAHA. Sebagai orang yang senang sekali “berdekatan” dengan orang-orang terkasih, nyatanya usaha berbagi sentuhan ini tidak jarang mengalami penolakan.
Ketika mencoba memposisikan diri sebagai mereka dan memperkirakan sudut pandang mereka, bisa jadi semua penolakan ini sesederhana karena ternyata … bahasa kasih kami berbeda.
Bila mereka ternyata tidak — belum siap, atau bahkan mungkin tidak mau untuk dicintai, lantas mau diapakan?
Kita tidak bisa memaksakan kehendak kita kepada orang tersebut karena itu justru menjadi pemaksaan dan obsesi. Jadi mungkin perlu ditanyakan kembali, keinginan agar mereka merasakan cinta kita itu apakah murni untuk kebaikan mereka atau untuk memuaskan ego sendiri?
Catatan penulis: Ini bukan berarti aku sudah sepenuhnya melakukan ini — mencintai dengan baik dan benar, hehe, aku ya masih belajar, tapi harapannya ini sekaligus bisa menjadi pengingat diri sendiri.